Indonesia – Budaya Tana Toraja yang Menakjubkan
Sekelompok 80 orang, pria dan wanita, berdiri bergandengan tangan dan membentuk lingkaran besar di lapangan. Mereka menyanyikan lagu duka dengan tempo lambat disaksikan ribuan penonton. Perlahan, mereka mencondongkan tubuh ke kanan, lalu ke kiri, lalu ke kanan lagi, sambil sesekali berjinjit. Ini adalah ritual Ma’badong, lagu untuk mengiringi upacara pemakaman.
Budaya Toraja menganggap upacara pemakaman sebagai acara yang sangat penting dengan makna yang dalam. Dahulu, masyarakat Toraja percaya bahwa upacara pemakaman -yang disebut Rambu Solo- harus dilakukan untuk menyenangkan para dewa agar orang yang meninggal diampuni dan diterima ke surga. Saat ini, upacara pemakaman dilakukan untuk menghormati orang mati dan keluarga yang kehilangan.
Rambu Solo adalah Endeavour besar yang berlangsung selama seminggu penuh. Tak heran jika ribuan orang tertarik, baik untuk hadir maupun membantu agar upacara pemakaman berjalan lancar. Ratusan, terkadang ribuan, kerbau dan babi dikorbankan untuk Rambu Solo. Itu semua tergantung pada seberapa besar upacara pemakaman itu nantinya. Upacara yang lebih besar akan membutuhkan lebih banyak hewan kurban, meskipun kerbau tidak murah, masing-masing seharga sepuluh juta rupiah (US$ 1.100). Ukuran dan cakupannya saja sudah cukup menjadi alasan bagi wisatawan berwisata di medan mancanegara maupun lokal untuk tidak melewatkan pengamatan Rambu Solo.
Meski demikian, Rambu Solo hanyalah salah satu dari sekian banyak sisi eksotik budaya Toraja. Sebagai bagian dari gelombang pertama manusia yang mendiami kepulauan Indonesia dan pendahulu budaya proto-Melayu, tradisi dan cara hidup suku Toraja sungguh luar biasa. Misalnya, Tana Toraja adalah salah satu dari sedikit tempat di Indonesia yang masyarakatnya masih membangun rumah suku – orang Toraja menyebutnya sebagai tongkonan.
Pemandangan tongkonan dengan ciri khas atapnya yang terbalik berbentuk perahu, terjepit di antara persawahan yang rimbun, tak jarang ditemui.
Di sekitar Rantepao dan Makale, ibu kota Kabupaten Toraja, terdapat desa-desa dengan tongkonan tua yang masih dihuni oleh keturunan pembangunnya. Di antara desa-desa tersebut, Kete’kesu adalah yang paling penting karena telah ditetapkan sebagai situs cagar budaya dan memiliki salah satu tongkonan dalam jumlah besar.
Lima tongkonan berdiri tegak di tengah kerumunan pengunjung; masing-masing dibuat tanpa menggunakan satu paku pun dan dihiasi dengan ukiran khasnya masing-masing. Bahkan sepintas, rumah-rumah suku itu terlihat sangat tua. Salah satunya dilaporkan berusia empat ratus tahun. Salah satunya dilaporkan berusia empat ratus tahun. Di depan setiap rumah dipajang tanduk kerbau untuk menandakan status sosial. Semakin banyak tanduk itu, semakin tinggi statusnya.
Di seberang tongkonan terletak lumbung biji-bijian yang oleh penduduk setempat disebut alang sura, sedangkan di belakang kompleks terdapat kuburan kuno yang setidaknya setua tongkonan, tapi mungkin lebih, dilihat dari kayu yang membusuk di dalam peti mati. Kata “kuburan” mungkin mengingatkan kita pada mayat yang terkubur di bawah tanah dan batu nisan, tetapi hal seperti itu tidak terlihat di Tana Toraja. Ini adalah aspek lain yang tidak biasa dari budaya Toraja.
Mereka tidak menguburkan orang mati seperti kebanyakan kebudayaan; sebaliknya mereka menempatkan orang mati di dalam gua, baik alam maupun buatan manusia. Gua pemakaman ini biasanya ada di tebing tinggi atau bebatuan besar, seperti di Lokomata. Jika gua alami tidak tersedia, maka harus diukir menjadi batu, proses yang melelahkan yang bisa memakan waktu bertahun-tahun untuk menyelesaikannya dan biasanya dilakukan dengan baik sebelum penghuni yang dimaksud meninggal dunia.
Dari luar, pintu masuknya tampak kecil. Namun di dalam, gua tersebut cukup besar untuk menampung beberapa jenazah beserta barang-barangnya. Kadang-kadang, patung seukuran manusia yang menyerupai salah satu orang mati ditempatkan di depan bukaan gua.
Sedangkan bayi yang giginya belum tumbuh akan mendapat perlakuan berbeda jika meninggal dunia. Alih-alih di gua, bayi itu akan dikuburkan di dalam batang pohon, seperti yang ditemukan di Kambira. Tata cara penguburan ini diakui secara luas sebagai salah satu budaya Indonesia yang luar biasa.
Segera menjadi Situs Warisan Dunia
Kete’kesu, Kambira, dan Lokomata bukan satu-satunya tempat untuk merasakan budaya Toraja. Tempat-tempat lain yang harus dikunjungi termasuk desa Palawa, Parinding, dan Londa, struktur batu megalitik Bori Kalimbuang, kota Sullukang, Sungai Sa’dan di tengahnya, juga memiliki pemandangan yang indah, didominasi oleh warna hijau pepohonan dan persawahan yang luas. Salah satu dari beberapa tempat untuk menikmati pemandangan adalah Batutumonga di lereng Gunung Sesean. Dari tempat yang tenang namun indah ini, orang dapat melihat dengan jelas lembah Sa’dan dan kota Rantepao di bawahnya. Hanya dengan perjalanan 45 menit dari Rantepao, wisatawan bisa menikmati trekking dan makan siang atau bermalam di sini.
Saat berwisata di Tana Toraja, terkadang wisatawan bisa menjumpai upacara perkawinan atau hantaran rumah (disebut Rambu Tuka) yang juga cukup unik. Upacara biasanya melibatkan nyanyian dan tarian yang dilakukan di depan Tongkonan. Masyarakat Toraja memegang teguh budaya mereka sebagai bagian dari rutinitas sehari-hari. Cara hidup mereka yang luar biasa telah membuat Toraja terkenal di dunia dan Tana Toraja sekarang dalam proses menjadi Situs Warisan Dunia.
Mendapatkan Hasil Maksimal dari Tana Toraja
Tana Toraja adalah sebuah kabupaten kecil yang terletak di Provinsi Sulawesi Selatan, sekitar 380 km dari Makassar, ibu kota Sulawesi Selatan. Banyaknya wisata Paket wisata Medan olah raga yang tersebar di seluruh kabupaten membuat kota Rantepao yang berada tepat di jantung Tana Toraja ini menjadi tempat yang tepat untuk memulai perjalanan apapun. Memang, ada hotel dan restoran di Rantepao yang khusus melayani kebutuhan wisatawan.
Mencapai Tana Toraja semudah berkendara melalui jalan beraspal dari Makassar, atau terbang keluar Makassar dengan Merpati Airlines setiap hari Selasa dan Jumat. Tur berpemandu ke Tana Toraja juga tersedia di Makassar dan menjadi pilihan yang sangat populer di kalangan wisatawan mancanegara karena praktis dan jauh lebih nyaman.